Beranda | Artikel
Imam Al-Bukhari, Pemimpin Ahli Hadits dari Bukhara
Rabu, 30 Maret 2022

Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus di mata umat ini. Kedudukan mereka begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranannya yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa panji Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم . Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang Sunnah Rasulullah. Setiap cabang ilmu agama bersumber dan kembali kepadanya.

Di antara ulama pewaris ilmu Rasulullah صلى الله عليه وسلم tersebut ialah Al Imam Al Bukhari. beliau seorang ulama ahlul hadits terdepan yang hidup pada abad ketiga Hijriyah. Ketokohannya dalam bidang hadits tidak tertandingi sehingga meraih gelar amirul mukminin fil hadits (pemimpin ulama hadits), baik pada masa hidupnya, maupun setelah wafatnya.

Nama lengkap beliau ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Dilahirkan di Bukhara selepas shalat Jum’at. Tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H.

Ayah beliau, Ismail, dikenal sebagai orang yang wara‘ lagi bertakwa. Dia sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik bin Anas, serta berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubarak. Namun Allah berkehendak mewafatkannya ketika Al Bukhari masih kecil.

Jadi, Imam Al Bukhari tidak sempat merasakan asuhan dan bimbingan keilmuan dari sang ayah, karena statusnya yang yatim. Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk menuntut ilmu. beliau tumbuh dalam asuhan dan pengawasan ibundanya. Dia belajar di sebuah madrasah di tanah kelahirannya. Disamping belajar baca dan tulis, di madrasah tersebut, Al Bukhari kecil pertama kali mempelajari Al Qur‘an.

Beliau dikenal jenius sejak kecil. beliau menceritakan:

Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar sepuluh tahun, hingga aku keluar dari madrasah pada usia sepuluh tahun. Aku mulai belajar kepada Ad Dakhili dan juga kepada selainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanadnya dari) Sufyan, dari Abu Az Zubair, dari Ibrahim…

Aku berkata kepadanya: “Sesungguhnya Abu Az Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Namun ia menghardikku.

Lantas aku katakan kepadanya: “Telitilah kembali kitab aslinya”.

Dia pun masuk rumah dan menelitinya kembali, kemudian keluar dan bertanya kepadaku: “Bagaimanakah (penjelasan) tentang hal itu, wahai anak muda?”

Aku menjawab: “(Yang dimaksud) adalah Az Zubair bin ‘Adi, dari Ibrahim”.

Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata: “Engkau benar”. Peristiwa itu terjadi saat aku berusia sebelas tahun.

Al Bukhari mengisahkan pula: Aku pernah belajar kepada para fuqaha di Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majelis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang di antara mereka bertanya kepadaku: “Berapa banyak (hadits) yang telah kau tulis hari ini?”

Aku menjawab: “Dua (hadits), dan aku ingin menulis dua hadits lagi”.

Orang-orang yang hadir di majelis itu menertawakanku. Lalu salah seorang syaikh : “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat, justru dia yang mentertawakan kalian”.

Hasyid bin Ismail dan seorang temannya mengisahkan pula:

Pernah Abu Abdillah Al Bukhari pergi belajar bersama kami kepada ulama-ulama Bashrah. Saat itu ia masih sangat muda, dan ia tidak pernah mencatat. Hingga suatu ketika kami menegurnya: “Sesungguhnya engkau pergi belajar bersama kami, namun engkau tidak pernah mencatat. Apa saja yang engkau kerjakan?”

Enam hari setelah kejadian itu, ia berkata kepada kami:

“Sesungguhnya kalian berdua telah berulang kali menegurku. Sekarang tunjukkanlah apa yang telah kalian catat”.

Kami pun menunjukkan catatan kami kepadanya, dan ia justru menambahkan lima belas ribu hadits lagi pada catatan kami, kemudian membacakan seluruh hadits-hadits tersebut dengan hafalannya. Sehingga justru kami mengoreksi catatan kami (sebelumnya) dengan merujuk kepada hafalannya. Ia berkata kepada kami: “Apakah menurut kalian aku pergi untuk sesuatu yang sia-sia dan aku menyia-nyiakan hari-hariku?”

Kami pun sadar, tidak ada seorang pun yang mampu mengunggulinya. Tentang kehebatan daya hafalnya ini, sepuluh ulama Bashrah pernah sengaja mengujinya. Masing-masing melemparkan pertanyaan kepada Al Bukhari tentang sepuluh hadits yang telah dibolak-balikkan sanad dan matannya, sehingga semuanya berjumlah seratus hadits. Ternyata beliau mampu mengembalikan sanad serta matan hadits masing-masing ulama tersebut sesuai urutannya yang benar, hanya dengan sekali dengar.

Demikianlah sosok Al Bukhari. Sejak kecil, bakat keilmuannya telah nampak. Pada usia enam belas tahun, beliau telah hafal kitab karangan Imam Waqi‘ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia tujuh belas tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya, Muhammad bin Salam Al Baikandi, untuk mengoreksi karangan-karangannya. Pada usia yang sama, beliau telah menjadi sumber rujukan hadits bagi tokoh-tokoh agama di Bashrah.

Tentunya semua itu tidak diperolehnya dengan berpangku tangan dan usaha yang sedikit. Selain menimba ilmu dari para ulama di tanah kelahirannya, beliau juga berulang kali mengembara ke berbagai negeri untuk memperbanyak perbendaharaan riwayat hadits, di samping untuk bertemu langsung dengan sanad hadits dan menimba ilmu dari ulama di setiap daerah yang dikunjunginya. Di antaranya adalah Khurasan, Balkh, Naisabur, Iraq, Baghdad, Bashrah, Kufah dan Al Jazirah (Sungai Eufrat dan Al Furat).

Ketika menunaikan haji bersama ibu dan saudaranya, beliau juga memanfaat moment tersebut untuk menimba ilmu dari ulama Hijaz. Selama enam tahun beliau hilir mudik menuntut ilmu di tanah Haram dan daerah sekitarnya. Di sela-sela keberadaannya di tanah Haram tersebut, beliau menulis kitab tarikhnya (At Tarikh Al Kabir) di sisi kubur Nabi صلى الله عليه وسلم . Ketika itu baru berumur delapan belas tahun. Lalu beliau berpindah ke Mesir, untuk kemudian kembali ke Bukhara.

Beliau memanfaatkan kesempatan di sela-sela perjalanannya menuju kampung halamannya dengan menimba ilmu dari ulama daerah yang ia lewati, seperti Syam dan Iraq. Sehingga tidak mengherankan, jika jumlah guru beliau mencapai seribu delapan puluh orang.

Di antara ulama besar yang pernah mencurahkan ilmu kepada beliau ialah, Abdullah bin Muhammad Al Musnadi, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Salam Al Baikandi, Abdullah bin Yusuf, Muhammad bin Yusuf Al Firyabi, Abu Nu’aim Al Fadhl, Muhammad bin Al Basyar Bundar, Abu ‘Ashim (Adh Dhahhak), Abdullah bin Az Zubair Al Humaidi, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli dan masih banyak lagi.Perhatiannya yang sangat besar terhadap hadits Nabi, didukung dengan intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman beliau yang begitu mendalam tentang makna serta kandungan hadits berikut ‘illat-‘illattnya, membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang sejarah.

Kelebihan-kelebihan yang melekat pada pribadi beliau ini, begitu menarik minat para penuntut ilmu untuk senantiasa menghadiri majelisnya. Di antara murid yang kemudian juga lahir sebagai ulama hadits terkemuka ialah, Muslim bin Al Hajjaj, pengarang Shahih Muslim, Abu Isa At Tirmidzi penulis Al Jami’u Ash Shahih, Muhammad bin Yusuf Al Firabri, Ibrahim Ibnu Ma’qal, Hammad bin Syakir, Ibnu Khuzaimah, Yahya bin Muhammad Shamid, dan Ibnu Abi Ad Dunya.

Kedalaman dan keluasan ilmu Imam Al Bukhari juga terefleksi dalam prilakunya sehari-hari. beliau adalah teladan dalam ibadah. Selalu menybukkan dengann kegiatan ilmiah. Masyhur sebagai ulama berbudi pekerti luhur, sangat wara’ lagi pemaaf, tidak suka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi, teliti dan hati-hati dalam berbicara; meskipun dalam masalah jarh dan ta’dil seorang rawi yang menurutnya lemah, Imam Al Bukhari tetap memilih kata-kata lembut, semisal munkarul hadits, fi haditsihi nazhar, atau sakatu ‘anhu. Sangat jarang beliau menggunakan ungkapan-ungkapan terlalu keras, semisal rawi itu seorang pendusta atau pemalsu hadits.

Beliau berkata: “Aku berharap menjumpai Allah, dan Dia tidak menghukumku karena aku menggunjing seseorang”. Inilah puncak kehati-hatian Imam Al Bukhari dalam bersikap. Demikian juga yang beliau lakukan ketika mengarang karya fenomenalnya berjudul Al Jami’ Al Musnad Ash Shahih Min Haditsi Rasulullah Wa Sunanihi Wa Ayyamihi, yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari. Tidaklah Imam Al Bukhari memasukkan satu hadits dalam karyanya tersebut, kecuali setelah meneliti sanadnya dengan cermat.

Imam Al Bukhari shalat dua rakaat setiap kali hendak mencantumkan hadits yang telah lulus seleksinya. Di samping itu, masih banyak karyanya yang menjadi saksi keluasan ilmu dan keikhlasannya, di antaranya : At Tarikh Al Awsath, Al Adabul Mufrad, Adh Dhu’afa Al Kabir, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, At Tafsir Al Kabir, Aqawiilu Ash Shahabah.

Melihat reputasinya, pantaslah Imam Al Bukhari mendapat pujian dari banyak ulama.

Imam At Tirmidzi berkata,”Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih faham tentang makna illal, juga tarikh, serta pengetahuan tentang sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Ismail.”

Ibnu Khuzaimah berkata,”Aku belum pernah menjumpai di bawah langit ini, seseorang yang lebih faham dan lebih hafal terhadap hadits Nabi صلى الله عليه وسلم daripada Muhammad bin Ismail.”

Namun demikian, kemulian derajat yang beliau peroleh karena keluasan ilmunya, tak urung mengundang dengki sebagian orang. Fitnah yang menimpa Imam Al Bukhari ini bermula, ketika seorang laki-laki dari Naisabur melontarkan pertanyaan kepadanya seputar Lafzhu bi Al Qur’an.

Imam Al Bukhari menjawab, Al Qur‘an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba, seluruhnya adalah makhluk.

Jawaban Imam Al Bukhari ini disalahfahami oleh sebagian orang yang dengki terhadapnya. Mereka meyebarkan tuduhan terhadap Imam Al Bukhari. Bahkan di antara mereka ada yang mengkafirkan beliau. Masalah pelik itu terus meluas. Puncaknya, ketika seorang ulama Naisabur, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli, melarang orang[1]orang menghadiri majelis Al Bukhari, serta mengkhabarkan kepada setiap orang yang mengambil riwayat darinya tentang kecacatan aqidahnya. Hingga orang-orang pun meninggalkannya. Tidak ada seorang pun yang sudi lagi menghadiri majelisnya, kecuali Muslim bin Al Hajjaj dan Ahmad bin Salamah.

Beliau menghadapi ujian itu dengan keteguhan seorang ulama, serta tidak membalas perlakuan buruk orang-orang yang zhalim terhadapnya. Ketika fitnah itu terus berlanjut, Imam Al Bukhari merasakan sempitnya bumi yang dipijaknya. beliau berdoa kepada Allah, agar menyelamatkannya dari ujian tersebut dengan menjemput arwahnya ke sisiNya.

Sebulan setelah fitnah itu, beliau wafat di sebuah desa bernama Khartank. Tepatnya pada malam ‘Idul Fitri 254 H. Ketika itu beliau berumur 62 tahun. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dengan limpahan rahmat yang luas kepada Imam Al Bukhari, pemimpin Ahli Hadits dari Bukhara. (Hanien Ummu Abdillah)


Maraji :

  1. Tarikh Baghdad, Al Khatib Al Baghdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al Khatib Al Baghdadi (393- 463 H), dar Al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, tanpa cetakan dan tahun.
  2. Siyar Min A’lamin Nubala, Syamsuddin Adz Dzahabi (673- 748 H), tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Mu‘assasah Ar Risalah, Beirut, Cet XI, Th. 1322H/ 2001M.
  3. Taghliq At Ta’liq, Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalani (773-852 H), tahqiq Said Abdurrahman Musa Al Qazqi, Al Maktab Al Islami, Beirut-Aman, Cet. I, Th. 1405 H.
  4. Taisir Mushthalah Al Hadits, Dr. Mahmud Thahan, Maktab Al Ma’arif, Cet. IX, Th. 1417H/ 1996M.
  5. Mudzakkirah Al Hadits Asy Syarif Kuliyah Asy Syari’ah, Semester I, Th. I, Jami’ah Islamiyah Madinah.

Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/imam-al-bukhari-pemimpin-ahli-hadits-dari-bukhara/